28 Januari 2015
Sunset di Pinggir Danau Hoan Kiem |
St. Joseph Cathedral di Hanoi |
Suasana Jalanan Daerah Old Quarter Sore Hari |
Malamnya saya memutuskan makan di restoran cepat saji. Menu
yang saya pilih apalagi kalau bukan ikan. Sisa malam itu saya habiskan
menelusuri jalan-jalan kecil di Old Quater sambil membeli beberapa souvenir
buat oleh-oleh. Saya juga sempat membeli jacket musim dingin dengan brand bagus
tapi harga dan kualitas sangat oke (hitung-hitung sebagai alternatif jaket saat
saya wisata ke beijing nanti). Saya kembali ke hostel jam 8 malam dan berangkat
ke stasiun 1 jam kemudian dengan mengendarai ojek yang telah disediakan pihak
hostel yang memang sudah saya urus semuanya ketika saya pertama kali tiba di
Hanoi beberapa hari lalu. Jadi saya tinggal duduk manis dan terima beres saja.
Memang harga bisa sedikit lebih miring jika saya mengurusnya langsung, namun keterbatasan waktu yang saya
miliki mendorong saya melakukan langkah shortcut. Supir ojek yang membawa saya
malam ini sudah tua dan tidak bisa berbahasa ingris, jadi saya hanya duduk diam
dibelakang pasrah dibawa oleh beliau ngebut di jalanan kota hanoi yang cukup
padat.
Petugas Taman Sedang Menanam Bunga |
Bunga-Bunga yang Akan Segera Ditanam |
Tepat pukul 10 kurang bebera menit (saya sudah takut
terlambat saat itu) saya tiba di stasiun. Karna merupakan pengalaman pertama
saya sembarangan saja masuk ke stasiun dan menunjukkan tiket saya ke petugas
yang sedang berjaga di sana. Petugas tersebut pun dengan senang hati
mengantarkan saya ke bagian keberangkatan international (rupanya saya salah
masuk terminal). Dalam tiket yang saya pegang tercantum nomor gerbong dan bed
saya di kereta. Saya pun masuk ke gerbong yang tertera, kemudian menyerahkan
tiket ke petugas dan dia menggantinya dengan kartu nomor tempat tidur. Tiket
nantinya akan dikembalikan saat kereta sudah sampai di tujuan, hal ini
bertujuan untuk mencegah penumpang kehilangan tiket. Kondisi gerbongnya sangat
bersih dan rapi. Memang saat saya baca di web gerbong yang tersedia untuk turis
yang akan bepergian ke Tiongkong cuma soft sleeper dengan harga sekitar 37 USD
dengan waktu tempuh sekitar 12 jam perjalanan.
Kompartemen yang saya tempati berisi tiga orang penumpang, saya sendiri dan 2 orang warga Tiongkok (terlihat dari paspor yang mereka bawa). Untunglah salah satunya bisa berbahasa ingris dan masih muda, jadi saya punya teman ngobrol selama perjalanan. Namanya Wen Chen Ye, FYI, rata-rata orang Tiongkok memang memiliki banyak sekali nama untuk hanya 1 orang saja. Di negara mereka sendiri saja mereka memiliki minimal 2 buah nama sesuai dengan bahasa yang ada disana, belum lagi kalau mereka pergi keluar negeri, mereka memiliki nama berbeda lagi. Setelah mengobrol lama dia rupanya sedang mendalami Sastra Arab, karena ayahnya menyuruhnya untuk kuliah dan bekerja di timur tengah. Dia sampai tidak percaya ketika saya bilang saya muslim, dan diapun mulai bertanya mengenai banyak hal. Mulai dari bacaan dan hafalan sholat, membaca Al-Quran, sampai perkara makanan halal dan haram. Saya saja sampai merasa malu karena pelafalan bahasa arabnya sangat fasih. Dia juga membantu saya mencari tiket kereta ke Beijing untuk keesokan harinya, dan kabar buruknya tidak ada tempat duduk yang tersisa. Dia menyarankan saya untuk naik pesawat, akan tetapi harganya juga selangit. Alhasil kami menyerah dan saya memutuskan untuk mencari di stasiun saja besok pagi. Ketika saya menyebutkan akan singgah di Shanghai beberapa hari, dia dengan senang hati menawarkan bantuan bila saya membutuhkan (baik sekali kan? bahkan kami belum terlalu mengenal). Kami mengahiri obrolan malam itu karena waktu sudah menunjukkan jam 11.30 malam, karena tidak enak mengganggu rekan se kompartemen lainnya. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke perbatasan kurang lebih 1 jam lagi, jadi masih bisa dimanfaatkan untuk tidur sejenak.
Sekitar jam 1 malam kami dibangunkan petugas gerbong karena telah sampai di check point Vietnam. Kami disuruh membawa semua barang bawaan turun dari kereta dan berjalan menuju konter imigrasi. Semua paspor dikumpulkan untuk diperiksa dan kami pun menunggu dengan tertib. Sambil menunggu, teman baru saya ini bertanya banyak hal mengenai Indonesia. Dia sengaja mencari petanya di internet sambil bertanya ke saya di bagian mana letak kota saya berada. Saya menjelaskan mengenai tempat-tempat indah di Indonesia dan makanannya juga enak-enak. Tapi dia lebih tertarik ketika saya bilang gadis-gadis di Indonesia banyak macamnya, mulai dari keturunan India, Arab, eropa bahkan mendekati Afro juga ada. Dia terkagum-kagum mendengarnya. Sekitar 30 menit menunggu nama kami dipanggil satu persatu oleh petugas, dan sejauh ini belum ada masalah serius mengenai urusan di imigrasi. Kami pun naik ke kereta untuk menuju ke check point yang ke dua, Tiongkok. Butuh waktu kurang lebih 2 jam untuk sampai ke check point tersebut. Karena sangat ngantuk kami pun melanjutkan tidur kami yang tertunda, walau pun hanya beberapa jam, itu sangat berarti mengingat besok saya belum tau apa yang terjadi selanjutnya. Tepat jam 03.30 malam, kami dibangunkan kembali oleh petugas untuk turun dan membawa semua barang bawaan karena kami telah tiba di check poin Tiongkok. Tempatnya lebih besar dari pada yang di Vietnam, bangunannya juga lebih moderen. Akan tetapi berbeda dengan di check point sebelumnya, pemeriksaan disini cukup ketat. Semua barang bawaan, baik itu koper, ransel bahkan kantongan plastikpun harus dikeluarkan isinya. Para petugas berseragam ini semangat sekali dalam hal bongkar membongkar, tapi ketika memasukkan kembali ke dalam tas hmmmmmm (no offense) mungkin sudah malam dan mereka sangat ngantuk, husnudzon aja deh. Karena tak ada masalah dengan paspor, visa dan barang bawaan, saya melenggang masuk saja sampai tiba dalam kereta kembali. Welcome to China......
Kompartemen yang saya tempati berisi tiga orang penumpang, saya sendiri dan 2 orang warga Tiongkok (terlihat dari paspor yang mereka bawa). Untunglah salah satunya bisa berbahasa ingris dan masih muda, jadi saya punya teman ngobrol selama perjalanan. Namanya Wen Chen Ye, FYI, rata-rata orang Tiongkok memang memiliki banyak sekali nama untuk hanya 1 orang saja. Di negara mereka sendiri saja mereka memiliki minimal 2 buah nama sesuai dengan bahasa yang ada disana, belum lagi kalau mereka pergi keluar negeri, mereka memiliki nama berbeda lagi. Setelah mengobrol lama dia rupanya sedang mendalami Sastra Arab, karena ayahnya menyuruhnya untuk kuliah dan bekerja di timur tengah. Dia sampai tidak percaya ketika saya bilang saya muslim, dan diapun mulai bertanya mengenai banyak hal. Mulai dari bacaan dan hafalan sholat, membaca Al-Quran, sampai perkara makanan halal dan haram. Saya saja sampai merasa malu karena pelafalan bahasa arabnya sangat fasih. Dia juga membantu saya mencari tiket kereta ke Beijing untuk keesokan harinya, dan kabar buruknya tidak ada tempat duduk yang tersisa. Dia menyarankan saya untuk naik pesawat, akan tetapi harganya juga selangit. Alhasil kami menyerah dan saya memutuskan untuk mencari di stasiun saja besok pagi. Ketika saya menyebutkan akan singgah di Shanghai beberapa hari, dia dengan senang hati menawarkan bantuan bila saya membutuhkan (baik sekali kan? bahkan kami belum terlalu mengenal). Kami mengahiri obrolan malam itu karena waktu sudah menunjukkan jam 11.30 malam, karena tidak enak mengganggu rekan se kompartemen lainnya. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke perbatasan kurang lebih 1 jam lagi, jadi masih bisa dimanfaatkan untuk tidur sejenak.
Sekitar jam 1 malam kami dibangunkan petugas gerbong karena telah sampai di check point Vietnam. Kami disuruh membawa semua barang bawaan turun dari kereta dan berjalan menuju konter imigrasi. Semua paspor dikumpulkan untuk diperiksa dan kami pun menunggu dengan tertib. Sambil menunggu, teman baru saya ini bertanya banyak hal mengenai Indonesia. Dia sengaja mencari petanya di internet sambil bertanya ke saya di bagian mana letak kota saya berada. Saya menjelaskan mengenai tempat-tempat indah di Indonesia dan makanannya juga enak-enak. Tapi dia lebih tertarik ketika saya bilang gadis-gadis di Indonesia banyak macamnya, mulai dari keturunan India, Arab, eropa bahkan mendekati Afro juga ada. Dia terkagum-kagum mendengarnya. Sekitar 30 menit menunggu nama kami dipanggil satu persatu oleh petugas, dan sejauh ini belum ada masalah serius mengenai urusan di imigrasi. Kami pun naik ke kereta untuk menuju ke check point yang ke dua, Tiongkok. Butuh waktu kurang lebih 2 jam untuk sampai ke check point tersebut. Karena sangat ngantuk kami pun melanjutkan tidur kami yang tertunda, walau pun hanya beberapa jam, itu sangat berarti mengingat besok saya belum tau apa yang terjadi selanjutnya. Tepat jam 03.30 malam, kami dibangunkan kembali oleh petugas untuk turun dan membawa semua barang bawaan karena kami telah tiba di check poin Tiongkok. Tempatnya lebih besar dari pada yang di Vietnam, bangunannya juga lebih moderen. Akan tetapi berbeda dengan di check point sebelumnya, pemeriksaan disini cukup ketat. Semua barang bawaan, baik itu koper, ransel bahkan kantongan plastikpun harus dikeluarkan isinya. Para petugas berseragam ini semangat sekali dalam hal bongkar membongkar, tapi ketika memasukkan kembali ke dalam tas hmmmmmm (no offense) mungkin sudah malam dan mereka sangat ngantuk, husnudzon aja deh. Karena tak ada masalah dengan paspor, visa dan barang bawaan, saya melenggang masuk saja sampai tiba dalam kereta kembali. Welcome to China......
No comments:
Post a Comment